Musa Rumpedai atau yang lebih akrab
dipanggi Tate Musa adalah seorang kakek yang telah berusia lanjut namun selalu
bersemangat kalau diajak bicara soal penyu. Tidak heran memang karena Kakek
Musa ini sudah begitu lama hidup bersama penyu sejak tahun 1970-an di Pantai
Inggrisau, Desa Aisau, Kecamatan Rainbawi, Kabupaten Yapen, Provinsi Papua.
Pria sederhana kelahiran Korombobi
(Kabupaten Yapen), 5 Maret 1936,
ini sehari-harinya bekerja sebagai petani
serabutan yang untuk kebutuhan makan sehari-hari dibantu oleh anaknya yang
tinggal di kampung sebelah yang jaraknya berkilo-kilometer.
Tinggal di rumah panggung yang
sederhana, terbuat dari papan kayu dan beratapkan seng dengan ukuran kurang
lebih 5 x 6 m2 , Kekek Musa
ini dalam aktivitas kesehariannya hanya ditemani istrinya, Salina Ayomi, yang
setia bersamanya. Rumah petak tempat tinggal kekak Musa ini bersebelahan
langsung dengan tempat panangkaran penyu, yaitu tempat telur-telur penyu
menetas di sarang buatan dan tempat perawatan bayi penyu yang disebut tukik . Tanpa
ada tetangga atau penduduk lain yang tinggal di daerah hamparan pantai berbukit
yang sunyi, kesepian Musa dan istrinya dihibur
oleh suara deburan ombak laut dan kicauan burung-burung yang turut meramaikan
tempat yang masih alami itu. Akses menuju lokasi bisa ditempuh melalui Kota
Serui dengan menggunakan mobil dalam waktu ± 2 jam dan disambung lagi dengan
menggunakan speed boat dalam waktu ± 30 menit. Rute lain menuju ke lokasi ini juga
bisa ditempuh melalui Kota Biak dengan menggunakan speed boat dalam waktu ± 1,5
jam.
Musa bekerja seorang diri selama
bertahun-tahun tanpa mengharapkan imbalan dari siapapun dalam kegiatan
penyelamatan penyu di Pantai Inggrisau. Daerah ini pernah dilanda tsunami pada
tahun 1996, sehingga memaksa penduduk lainnya meninggalkan tempat ini. Namun,
kejadian tsunami tersebut tidak membuat surut niat Musa untuk tetap hidup
bersama penyu. Meskipun telah berusia 87 tahun, Kakek Musa tidak mengisyaratkan
ingin berhenti dari aktivitas menangkarkan
penyu. Sudah lebih dari 35 tahun kakek renta ini mengabdi untuk lingkungan
dengan cara membantu penyelamatan penyu.
Sebenarnya sudah sejak tahun
1970-an Musa telah berurusan dengan upaya pelestarian penyu, tetapi kegiatannya
dalam penyelamatan penyu ini baru dikenal masyarakat umum sejak awal tahun
2000-an. Ini karena lokasi kegiatan penyelamatan penyu oleh Musa di Pantai
Inggrisau ini merupakan daerah yang terpencil serta terisolir dan tidak mudah untuk
menjangkau tempat ini, kecuali dengan perahu atau speedboat.
Pantai Inggrisau adalah saksi bisu ketika
Musa dalam hari-harinya menghabiskan masa hidupnya untuk kegiatan penyelamatan
penyu. Musa tidak mengenal waktu dalam melakukan kegiatan penyelamatan penyu.
Setiap malam hingga menjelang subuh Musa berjalan kaki 3-5 km mencari
jejak-jejak penyu yang bertelur di
sepanjang pantai Inggirisau untuk mengumpulkan telur-telur penyu tersebut dan
kemudian membawa telur-telur penyu ini lokasi penangkaran. Adapun pada siang
hari Musa banyak disibukkan dengan kegiatan pembuatan lubang-lubang sarang
telur penyu dan selanjutnya memindahkan telur-telur penyu yang menetas ke
tempat pemeliharaan sementara. Selain itu Musa juga harus memberi makan dan
merawat anakan-anakan penyu dan melepaskannya ke laut bila sudah siap.
Musa saat menjelaskan telur yang dipeliharanya
Kegiatan penyelamatan penyu oleh
Musa adalah atas prakarsa sendiri, terutama karena dilandasi oleh suatu cerita
legenda setempat yang dituturkan oleh ayah Musa sewaktu ia masih kecil. Niat
Musa menyelamatkan penyu ini karena ia khawatir akan keselamatan telur-telur
penyu yang memiliki banyak pemangsa atau musuh (hewan dan maunusia) dan ia
menganggap bahwa penyu adalah sebagai bagian dari anggota keluarganya yang
harus dilindungi.
Musa
meyakini, penyu-penyu yang datang ke Pantai Inggrisau, adalah satwa sakral yang
dulu menyelamatkan nenek moyang Suku Wabo, suku Musa. Saat masih berumur tujuh
tahun, Aminadab Rumpedai (ayah Musa)
membawa Musa pertama kali ke Inggrisau melihat batu hitam di pertengahan
garis pantai. Batu hitam yang
besarnya nyaris sebesar penyu belimbing raksasa dengan panjang dua meteran itu dianggap sebagai penjelmaan dari
seorang nenek yang dibawa oleh penyu belimbing ke laut.
Konon ceritanya, pada jaman dahulu
ada seorang nenek-nenek dengan cucunya menemukan seekor penyu belimbing yang sedang
bertelur, lalu mereka mendekati penyu yang sedang bertelur tersebut. Ketika
telur terakhir telah dikeluarkan oleh penyu belimbing, nenek ini kemudian
memeriksa tempat keluarnya telur dari tubuh penyu untuk melihat apakah masih
ada telur lagi yang akan dikeluarkan oleh penyu itu. Namun ternyata tangan si
nenek tersangkut di tubuh penyu dan terseret oleh penyu belimbing ke laut. Saat
akan tenggelam, nenek mengangkat tangannya dan menunjukkan lima jari sebanyak
dua kali, sang cucu yang melihat kemudian menganggap bahwa 10 hari lagi neneknya akan kembali ke pantai. Setelah 10
hari mereka melihat penyu belimbing yang cukup besar kembali ke pantai bersama
nenek mereka, tapi nenek itu berubah menjadi batu. Batu tersebut masih ada
hingga kini, dan diberi nama Imbeuri. Imbeuri menjadi tempat keramat di Pantai Inggrisau yang tidak boleh di injak. Penduduk suku Wabo, suku yang mendiami Pantai Inggrisau
berkeyakinan bahwa batu tersebut adalah jelmaan nenek moyang mereka.
tukik (anak penyu) yang berhasil ditetaskan
Menurut cerita dari Kakek Musa
apabila batu tersebut tertutup pasir laut, maka tidak akan ada penyu yang mau
datang ke pantai Inggrisau untuk bertelur, sehingga Musa pun akan datang dan bicara pada Imbeuri, "Nenek, jangan tutup, bagus kalau bangkit", maka ombak akan datang menyapu pasir dan batu akan terlihat kembali. Saat melepaskan tukik
ke laut musa akan mengucapkan Ura, urasosorare, unaura uda kasoo romarei wencu yang artinya pergi, pergi ke laut, tinggal di laut lepas sampai kawin dulu, baru ke darat. Musa
Percaya pada saatnya nanti penyu-penyu ini akan kembali ke pantai Inggisau
untuk bertelur
Meskipun hanya berpendidikan Sekolah Rakyat di
zaman kolonial Belanda (atau setingkat Sekolah Dasar), Musa telah beberapa kali
diundang di forum-forum penting sebagai narasumber untuk berbicara di hadapan
khalayak terkait kegiatan penyelamatan penyu yang dia lakukan. Pengorbanan Musa
dalam kegiatan penyelamatan penyu dipandang
mampu menginspirasi bagi banyak pihak, dan karena itu ia diundang dalam berbagai
acara penting nasional, antara lain Musa
tampil di acara KICK ANDY di Metro TV pada November 2012 dan juga diundang
khusus dalam acara Konferensi Nasional Pengelolaan Pesisir dan Laut di Mataram
pada Oktober 2012.
Penghargaan yang telah diterima Musa
antara lain :
-
Sertifikat Penghargaan
dari WWF
- Trofi Penghargaan dari
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian
Kelautan dan Perikanan Tahun 2012
-
Trofi Penghargaan KICK
ANDY Hero Tahun 2013
-
Trofi Penghargaan
Kalpataru 2013 dari Presiden Republik Indonesia
Aktivitas yang dilakukan oleh Musa dalam upaya
penyelamatan penyu telah memberikan inspirasi bagi banyak orang akan makna
nilai-nilai pengorbanan dan arti penting lingkungan hidup di muka bumi. Musa
tidak segan-segan untuk berbagi pengatahuan dan pengalaman bagi pihak manapun
terkait kegiatan penyelamatan penyu. Dedikasi Musa dalam upaya penyelamatan
penyu seorang diri di tempat yang relatif terisolasi telah menggugah banyak
pihak untuk datang mengunjungi tempat kegiatan pelestarian penyu di Pantai
Inggrisau. Penampilan Musa di berbagai kesempatan, baik tingkat lokal maupun
nasional, telah membawa nama baik daerahnya, dan Musa pun dikenal sebagai tokoh
pelestari penyu. Bahkan, Dusun Inggrisau yang lokasinya sangat terpencil dan
terisolasi pun menjadi terkenal dan adakalanya dikunjungi oleh banyak orang, termasuk Menteri Negara Lingkungan Hidup Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA.
Hasilnya Musa Rumpedai berhasil mendapatkan penghargaan dari Presiden Republik Indonesia Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, berupa Penghargaan Kalpataru bulan Juni 2013 yang lalu. Semoga apa yang sudah dilakukan oleh Musa Rumpedai menjadi inspirator bagi para masyarakat lainnya untuk lebih peduli dengan Lingkungan.
Best Regard, Admin